Ekosistem .:: HUTAN HUJAN TROPIS ::.
Secara geografis daerah tropis mencakup wilayah yang terletak di antara titik balik rasi bintang Cancer dan rasi bintang Capricornus, yaitu antara 23°27’ Lintang Utara dan 23°27’ Lintang Selatan. Meliputi wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara, Australia bagian Utara, sebagian besar wilayah Afrika, Kepulauan Pasifik, Amerika Tengah dan sebagian besar wilayah Amerika Selatan. Menurut Koeppen (1930) daerah tropis adalah wilayah yang terletak di antara garis isoterm 180 C bulan terdingin. Daerah tropis secara keseluruhan mencakup 30 % dari luas permukaan bumi. Hutan Tropis merupakan hutan yang berada di daerah tropis.
Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang telah menutupi banyak lahan. Ekosistem hutan hujan tropis terbentuk oleh vegetasi klimaks pada daerah dengan curah hujan 2.000 -11.000 mm per tahun, rata-rata temperatur 25°C dengan perbedaan temperatur yang kecil sepanjang tahun, dan rata-rata kelembapan udara 80 %.
Tipe ekosistem hutan hujan tropis terdapat di wilayah yang memiliki tipe iklim A dan B (menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson), atau dapat dikatakan bahwa tipe ekosistem tersebut berada pada daerah yang selalu basah, pada daerah yang memiliki jenis tanah Podsol, Latosol, Aluvial, dan Regosol dengan drainase yang baik, dan terletak jauh dari pantai.
Tegakan hutan hujan tropis didominasi oleh pepohonan yang selalu hijau. Keanekaragaman spesies tumbuhan dan binatang yang ada di hutan hujan tropis sangat tinggi. Jumlah spesies pohon yang ditemukan dalam hutan hujan tropis lebih banyak dibandingkan dengan yang ditemukan pada ekosistem yang lainnya. Misalnya, hutan hujan tropis di Amazonia mengandung spesies pohon dan semak sebanyak 240 spesies.
Hutan alam tropis yang masih utuh mempunyai jumlah spesies tumbuhan yang sangat banyak. Hutan di Kalimantan mempunyai lebih dari 40.000 spesies tumbuhan, dan merupakan hutan yang paling kaya spesiesnya di dunia. Di antara 40.000 spesies tumbuhan tersebut, terdapat lebih dari 4.000 spesies tumbuhan yang termasuk golongan pepohonan besar dan penting. Di dalam setiap hektar hutan tropis seperti tersebut mengandung sedikitnya 320 pohon yang berukuran garis tengah lebih dari 10 cm. Di samping itu, di hutan hujan tropis Indonesia telah banyak dikenali ratusan spesies rotan, spesies pohon tengkawang, spesies anggrek hutan, dan beberapa spesies umbi-umbian sebagai sumber makanan dan obat-obatan.
Tajuk pohon hutan hujan tropis sangat rapat, ditambah lagi adanya tumbuh-tumbuhan yang memanjat, menggantung, dan menempel pada dahan-dahan pohon, misalnya rotan, anggrek, dan paku-pakuan. Hal ini menyebabkan sinar matahari tidak dapat menembus tajuk hutan hingga ke lantai hutan, sehingga tidak memungkinkan bagi semak untuk berkembang di bawah naungan tajuk pohon kecuali spesies tumbuhan yang telah beradaptasi dengan baik untuk tumbuh di bawah naungan.
Itu semua merupakan ciri umum bagi ekosistem hutan hujan tropis. Selain ciri umum yang telah dikemukakan di atas, masih ada ciri yang dimiliki ekosistem hutan hujan tropis, yaitu kecepatan daur ulang sangat tinggi, sehingga semua komponen vegetasi hutan tidak mungkin kekurangan unsur hara. Jadi, faktor pembatas di hutan hujan tropis adalah cahaya, dan itu pun hanya berlaku bagi tumbuh-tumbuhan yang terletak di lapisan bawah. Dengan demikian, herba dan semak yang ada dalam hutan adalah spesies-spesies yang telah beradaptasi secara baik untuk tumbuh di bawah naungan pohon.
A. Tipe Hutan Hujan Tropis Menurut Ketinggian Tempat
Menurut ketinggian tempat dari permukaan laut, hutan hujan tropis dibedakan menjadi tiga zona atau wilayah sebagai berikut.
1. Zona 1 dinamakan hutan hujan bawah karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 0 -1.000 m dari permukaan laut.
2. Zona 2 dinamakan hutan hujan tengah karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 1.000 - 3.300 m dari permukaan laut.
3. Zona 3 dinamakan hutan hujan atas karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 3.300 - 4.100 m dari permukaan laut.
1. Zona Hutan Hujan Bawah
Penyebaran tipe ekosistem hutan hujan bawah meliputi pulaupulau
Sumatra, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, Irian, Sulawesi, dan beberapa
pulau di Maluku misalnya di pulau Taliabu, Mangole, Mandioli, Sanan,
dan Obi. Di hutan hujan bawah banyak terdapat spesies pohon anggota
famili Dipterocarpaceae terutama anggota genus Shorea, Dipterocarpus, Hopea, Vatiea, Dryobalanops, dan Cotylelobium. Dengan demikian, hutan hujan bawah disebut juga hutan Dipterocarps. Selain spesies pohon anggota famili Dipterocarpaceae tersebut juga terdapat spesies pohon lain dari anggota famili Lauraceae, Myrtaceae, Myristicaceae, dan Ebenaceae, serta pohon-pohon anggota genus Agathis, Koompasia, dan Dyera.
Pada ekosistem hutan hujan bawah di Jawa dan Nusa Tenggara terdapat spesies pohon anggota genus Altingia, Bischofia, Castanopsis, Ficus, dan Gossampinus, serta spesies-spesies pohon dari famili Leguminosae. Adapun
eksosistem hutan hujan bawah di Sulawesi, Maluku, dan Irian,
merupakan hutan campuran yang didominasi oleh spesies pohon Palaquium spp., Pometia pinnata, Intsia spp., Diospyros spp., Koordersiodendron pinnatum, dan Canarium spp. Spesies-spesies tumbuhan merambat yang banyak dijumpai di hutan hujan bawah adalah anggota famili Apocynaceae, Araceae, dan berbagai spesies rotan (Calamus spp.).
2. Zona Hutan Hujan Tengah
Penyebaran tipe ekosistem hutan hujan tengah meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, sebagian daerah Indonesia Timor, di Aceh dan Sumatra Utara. Secara umum, ekosistem hutan hujan tengah didominasi oleh genus Quercus, Castanopsis, Nothofagus, dan spesies pohon anggota famili Magnoliaceae.
Di beberapa daerah, tipe ekosistem hutan hujan tengah agak khas. Misalnya di Aceh dan Sumatra Utara terdapat spesies pohon Pinus merkusii, di Jawa Tengah terdapat spesies pohon Albizzia montana dan Anaphalis javanica, di beberapa daerah Jawa Timur terdapat spesies pohon Cassuarina spp., di Sulawesi terdapat kelompok spesies pohon anggota genus Agathis dan Podocarpus. Di sebagian daerah Indonesia Timur terdapat spesies pohon anggota genus Trema, Vaccinium, dan pohon Podocarpus imbricatus, sedangkan spesies pohon anggota famili Dipterocarpaceae hanya terdapat pada daerah-daerah yang memiliki ketinggian tempat 1.200 m dpl.
3. Zona Hutan Hujan Atas
Penyebaran tipe ekosistem hutan hujan atas hanya di Irian Jaya dan di
sebagian daerah Indonesia Barat. Tipe ekosistem hutan hujan atas pada
umumnya berupa kelompok hutan yang terpisah-pisah oleh padang rumput
dan belukar. Pada ekosistem hutan hujan atas di Irian Jaya banyak
mengandung spesies pohon Conifer (pohon berdaun jarum) genus Dacrydium, Libecedrus, Phyllocladus, dan Podocarpus. Di samping itu, mengandung juga spesies pohon Eugenia spp. dan Calophyllum, sedangkan di sebagian daerah Indonesia Barat dijumpai juga kelompokkelompok tegakan Leptospermum, Tristania, dan Phyllocladus yang tumbuh dalam ekosistem hutan hujan atas pada daerah yang memiliki ketinggian tempat lebih dari 3.300 m dpl.
1. Hutan Tropis Basah
Hutan tropis basah adalah hutan yang memperoleh curah hujan yang tinggi, sering juga kita kenal dengan istilah hutan pamah. Hutan jenis ini dapat dijumpai di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Bagian Utara dan Papua. Jenis-jenis yang umum ditemukan di hutan ini, yaitu: Meranti (Shorea dan Parashorea), keruing (Dipterocarpus), Kapur (Dryobalanops), kayu besi (Eusideroxylon zwageri), kayu hitam (Diospyros sp).
2. Hutan Muson Basah
Hutan muson basah merupakan hutan yang umumnya dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur, periode musim kemarau 4-6 bulan. Curah hujan yang dialami dalam satu tahun 1.250 mm-2.000 mm. Jenis-jenis pohon yang tumbuh di hutan ini antara lain jati, mahoni, sonokeling, pilang dan kelampis.
3. Hutan Muson Kering
Hutan muson kering terdapat di ujung timur Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa. Tipe hutan ini berada pada lokasi yang memiliki musim kemarau berkisar antara 6-8 bulan. Curah hujan dalam setahun kurang dari 1.250 mm. Jenis pohon yang tumbuh pada hutan ini yaitu Jati dan Eukaliptus.
4. Hutan Savana
Hutan savana merupakan hutan yang banyak ditumbuhi kelompok semak belukar diselingi padang rumput dengan jenis tanaman berduri. Periode musim kemarau 4 – 6 bulan dengan curah hujan kurang dari 1.000 mm per tahun. Jenis-jenis yang tumbuh di hutan ini umumnya dari Famili Leguminosae dan Euphorbiaceae. Tipe Hutan ini umum dijumpai di Flores, Sumba dan Timor.
C. Tipe Hutan Hujan Tropis Menurut Physiognomi
Pada sistem klasifikasi ini dasar yang dipakai adalah ciri-ciri luar vegetasi yang mudah dikenali dan dibedakan, seperti semak, rumput, pohon dan lain-lain. Ciri lebih lanjut seperti menggugurkan daun, selalu hijau, tinggi dan derajad penutupan tegakan dapat pula diterapkan. Ciri-ciri yang umum digunakan yaitu :
- Tinggi vegetasi, yang berkaitan dengan strata yang nampak oleh mata biasa
- Struktur, berpedoman pada susunan stratum (A, B, C, D dan E), dan penutupan tajuk (Coverage).
- Life-form atau bentuk hidup atau bentuk pertumbuhan, merupakan individu-individu penyusun komunitas tumbuh-tumbuhan.
Contoh :
a. Ciri physiognomi hutan tropis dataran rendah :
| Kanopi |
:
| 25 – 45 m |
| Tinggi pohon (emergent) |
:
| Khas, 60 – 80 m |
| Daun penumpu |
:
| Sering dijumpai |
| Elemen daun dominan |
:
| Mesophyl |
| Akar papan |
:
| Sering dijumpai dan sangat besar |
| Kauliflori |
:
| Sering dijumpai |
| Liana berkayu |
:
| Sering dijumpai |
| Liana pada batang |
:
| Sering dijumpai |
| Ephyphit |
:
| Sering dijumpai |
| Kanopi |
:
| 15 – 33 m |
| Tinggi pohon (emergent) |
:
| Sering tidak ada |
| Daun penumpu |
:
| Jarang dijumpai |
| Elemen daun dominan |
:
| Mesophyl |
| Akar papan |
:
| Jarang dijumpai dan kecil |
| Kauliflori |
:
| Jarang dijumpai |
| Liana berkayu |
:
| Jarang dijumpai |
| Liana pada batang |
:
| Sering dijumpai |
| Ephyphit |
:
| Sangat sering dijumpai |
| Kanopi |
:
| 2 - 18 m |
| Tinggi pohon (emergent) |
:
| Pada umumnya tidak ada |
| Daun penumpu |
:
| Sangat jarang dijumpai |
| Elemen daun dominan |
:
| Microphyl |
| Akar papan |
:
| Pada umumnya tidak ada |
| Kauliflori |
:
| Tidak ada |
| Liana berkayu |
:
| Tidak ada |
| Liana pada batang |
:
| Jarang dijumpai |
| Ephyphit |
:
| Sering dijumpai |
D. Tipe Hutan Hujan Tropis Menurut Sosiologi Vegetasi
Tipe hutan berdasarkan sosiologi vegetasi merupakan pengklasifikasian hutan berdasarkan jenis yang dominan pada hutan tersebut atau berdasarkan famili yang dominan di daerah itu. Contoh :
- Hutan Dipterocarpaceae di Asia Tenggara, merupakan hutan tropis yang umum dijumpai dan Famili yang mendominasi adalah Famili Dipterocarpaceae.
- Hutan Shorea albida di Serawak, merupakan hutan tropis yang didominasi jenis Shorea albida.
- Hutan Ebony (Diospyros sp) di Sulawesi, merupakan hutan tropis yang didominasi oleh Ebony atau kayu hitam.
- Hutan Mahoni di Jawa, meupakan hutan musim yang didominasi oleh mahoni di pulau Jawa.
E. Tipe-tipe Hutan Hujan Tropis pada Kondisi Khusus (Azonal)
Hutan pada tipe azonal umumnya dipengaruhi oleh kondisi tanah dan air serta kondisi tempat tumbuh yang miskin hara.
1. Hutan Mangrove
Hutan yang berada di tepi pantai, didominir oleh pohon-pohon tropika atau belukar dari genus Rhizophora, Languncularia, Avicennia dan lain-lain.
2. Hutan Gambut (Peak Forest)
Hutan yang tumbuh pada tanah organosol dengan lapisan gambut yang memiliki ketebalan 50 cm atau lebih, umumnya terdapat pada daerah yang memiliki tipe iklim A atau B menurut klasifikasi tipe iklim Schmidt dan Ferguson.
3. Hutan Rawa (Swamp Forest)
Hutan yang tumbuh pada daerah-daerah yang selalu tergenang air tawar, tidak dipengaruhi iklim. Pada umumnya terletak dibelakang hutan payau dengan jenis tanah aluvial. Tegakan hutan selalu hijau dengan pohon-pohon yang tinggi bisa mencapai 40 m dan terdiri atas banyak lapisan tajuk.
Ekosistem .:: HUTAN MUSIM ::.

Ekosistem hutan musim merupakan ekosistem hutan campuran yang berada di daerah beriklim muson (monsoon), yaitu
daerah dengan perbedaan antara musim kering dan basah yang jelas.
Tipe ekosistem hutan musim terdapat pada daerah-daerah yang memiliki
tipe iklim C dan D (tipe iklim menurut klasifikasi Schmidt dan
Ferguson) dengan rata-rata curah hujan 1.000-2.000 mm per tahun dengan
rata-rata suhu bulanan sebesar 21°-32°C.
Penyebaran lokasi ekosistem hutan musim meliputi wilayah negara-negara yang beriklim musim (monsoon), misalnya
di India, Myanmar, Indonesia, Afrika Timur, dan Australia Utara. Di
Indonesia, tipe ekosistem hutan musim berada di Jawa (terutama di Jawa
Tengah dan Jawa Timur), di kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian.
Vegetasi
yang berada dalam ekosistem hutan musim didominasi oleh
spesies-spesies pohon yang menggugurkan daun di musim kering, sehingga
type ekosistem musim disebut juga hutan gugur daun atau deciduous forest.
Pada ekosistem hutan ini umumnya hanya memiliki satu lapisan tajuk
atau satu stratum dengan tajuk-tajuk pohon yang tidak saling
tumpang-tindih, sehingga masih banyak sinar matahari yang bisa masuk
hutan sampai ke lantai hutan, apalagi pada saat sedang gugur daun. Hal
ini memungkinkan tumbuh dan berkembangnya berbagai spesies semak dan
herba yang menutup lantai hutan secara rapat, sehingga menyulitkan bagi
orang untuk masuk ke dalam hutan.
Pada
musim kering, mayoritas pepohonan di hutan musim menggugurkan semua
daunnya, tetapi lamanya daun gugur bergantung kepada persediaan air
dalam tanah, dan hal demikian itu dapat berbeda-beda antartempat dalam
hutan yang sama. Sebagai contoh untuk tempat-tempat yang ada di
pinggir sungai yang selalu ada cukup air, menyebabkan daun-daun pohon
gugur secara bergantian, bahkan di sini tidak setiap spesies pohon
menggugurkan semua daunnya. Pada akhir musim kering, banyak dijumpai
pohon yang mulai berbunga. Transpirasi melalui bunga sangat kecil,
sehingga tidak mengganggu keseimbangan air dalam tubuh tumbuhan.
Kemudian setelah masuk musim hujan, pepohonan mampu memproduksi daun
baru, buah, dan biji, sepanjang air tanah cepat tersedia bagi tumbuhan.
Bunga
yang dihasilkan oleh pepohonan di hutan musim sering berukuran besar
dan memiliki warna yang terang, dan berbeda jika dibandingkan dengan
bunga yang dihasilkan oleh pepohonan di hutan hujan tropis (pohon yang
selalu hijau = evergreen). Bunga pohon di hutan musim
umumnya kelihatan pada bagian luar tajuk, sehingga sangat mudah
dilihat oleh binatang atau seranggaserangga penyerbuk.
Spesies pepohonan yang ada pada ekosistem hutan musim antara lain Tectona
grandis, Dalbergia latifolia, Acacia leucophloea, Schleieera oleosa,
Eucalyptus alba, Santalum album, Albizzia chinensis, dan Timonius cerysus.
Menurut ketinggian tempat dari permukaan laut, hutan musim dibedakan menjadi dua zona atau wilayah sebagai berikut - Zona 1 dinamakan hutan musim bawah karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 0-1.000 m dari permukaan laut.
- Zona 2 dinamakan hutan musim tengah dan atas karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 1.000-4.100 m dari permukaan laut.
1. Zona Hutan Musim Bawah
Spesies-spesies pohon yang merupakan ciri khas tipe ekosistem hutan musim bawah di daerah Jawa antara lain Tectona grandis, Acacia leucophloea, Aetinophora fragrans, Albizzia chinensis, Azadirachta indica, dan Caesalpinia digyna. Di kepulauan Nusa Tenggara dijumpai spesies-spesies pohon yang menjadi ciri khas hutan musim, yaitu Eucalyptus alba dan Santalum album, sedangkan spesies pohon khas hutan musim di Maluku dan Irian antara lain Melaleuca leucadendron, Eucalyptus spp., Corypha utan, Timonius cerycus, dan Banksia dentata.
2. Zona Hutan Musim Tengah dan Atas
Spesies
pohon yang merupakan ciri khas ekosistem hutan musim tengah dan alas
adalah sebagai berikut. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur terdapat pohon Casuarina junghuhniana sebagai
spesies pohon dominan dan khas untuk tipe ekosistem hutan musim
tengah dan atas. Hutan musim tengah dan atas di daerah Indonesia Timur
mengandung spesies pohon khas untuk ekosistem tersebut, yaitu Eucalyptus spp. Adapun spesies pohon khas untuk hutan musim tengah dan alas di daerah Sumatra yaitu Pinus merkusii.
Ekosistem .:: HUTAN PANTAI ::.

Tipe ekosistem hutan pantai terdapat di daerah-daerah kering tepi
pantai dengan kondisi tanah berpasir atau berbatu dan terletak di atas
garis pasang tertinggi. Di daerah seperti itu pada umumnya jarang
tergenang oleh air laut, namun sering terjadi atau terkena angin
kencang dengan embusan garam.
Spesies-spesies pohon yang pada umumnya terdapat dalam ekosistem hutan pantai antara lain Barringtonia asiatica, Terminalia catappa, Calophyllum inophyllum, Hibiscus tiliaceus, Casuarina equisetifolia, dan Pisonia grandis. Selain spesies-spesies pohon tersebut, temyata kadang-kadang terdapat juga spesies pohon Hernandia peltata, Manilkara kauki, dan Sterculia foetida.
Apabila dilihat perkembangan vegetasi yang ada di daerah pantai (litoral), maka sesungguhnya sering dijumpai dua formasi vegetasi, yaitu formasi Pescaprae dan formasi Barringtonia.
1. Formasi Pescaprae
Formasi ini terdapat pada tumpukan-tumpukan pasir yang mengalami proses peninggian di sepanjang pantai, dan hampir terdapat di selumh pantai Indonesia. Komposisi spesies tumbuhan pada formasi pescaprae di mana saja hampir sama karena spesies tumbuhannya didominasi oleh Ipomoea pescaprae (katang-katang) salah satu spesies tumbuhan menjalar, herba rendah yang akamya mampu mengikat pasir. Sebetulnya nama fomlasi pescaprae diambil dari nama spesies tumbuhan yang dominan itu. Akan tetapi, ada spesies-spesies tumbuhan lainnya yang umumnya terdapat pada formasi pescaprae antara lain Cyperus penduculatus, Cyperus stoloniferus, Thuarea linvoluta, Spinifex littoralis, Vitex trifolia, Ishaemum muticum, Euphorbia atoto, Launaca sarmontasa, Fimbristylis sericea, Canavalia abtusiofolia, Triumfetta repens, Uigna marina, Ipomea carnosa, Ipomoea denticulata, dan Ipomoea littoralis.
Gambar 2. Ipomea Pescaprae (Irwanto, 2008)
Formasi ini terdapat di atas formasi pescaprae, yaitu pada daerah pantai persis di belakang formasi pescaprae yang telah memungkinkan untuk ditumbuhi berbagai spesies pohon khas hutan pantai.
Gambar. 3. Formasi Barringtonia (Irwanto, 2008)
Disebut formasi Barringtonia karena spesies tumbuhan yang dominan di daerah ini adalah spesies pohon Barringtonia asiatica. Sebenarnya yang dimaksud ekosistem hutan pantai adalah formasi Barringtonia ini. Beberapa spesies pohon yang tumbuh di pantai dan menyusun ekosistem hutan pantai antara lain Barringtonia
asiatica, Casuarina equisetifolia, Terminalia eatappa, Hibiscus
tiliaceus, Calophyllum inophyllum, Hernandia peltata, Sterculia
foetida, Manilkara kauki, Cocos nucifera, Crinum asiaticum, Cycas
rumphii, Caesalpinia bonducella, Morinda citrifolia, Oehrocarpus
ovalifolius, Taeea leontopetaloides, Thespesia populnea, Tournefortia
argentea, Wedelia biflora, Ximenia americana, Pisonia grandis, Pluehea
indica, Pongamia pinnata, Premna Corymbosa, Premna obtusifolia,
Pemphis acidula, Planchonella obovata, Scaevola taccada, Scaevola
frutescens, Desmodium umbellatum, Dodonaea viscesa, Sophora tomentosa,
Erythrina variegata, Guettarda speciosa, Pandanus bidur, Pandanus
tectorius, dan Nephrolepis biserrata.
Pada daerah hutan pantai Pulau Marsegu Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku terdapat vegetasi hutan pantai di bagian timur didominasi Pongamia pinnata Merr, Cordia subcordata L, Calophyllum inophyllum L, Terminalia cattapa L, Premna corymbosa R.et W, Excoecaria agallocha L, Heritiera littoralis Aiton, Xylocarpus moluccensis Roem dan Cocos nucifera L, Premna corymbosa R et W, Terminalia cattapa L, Heritiera littoralis Aiton. dan Pemphis acidula Forst. Meskipun zone ini sering disebut zone Barringtonia tapi jenis Barringtonia asiatica Kurz hanya sedikit yang bisa ditemukan. Tumbuhan bawah yang berasosiasi adalah Ipomea pescaprae, Ipomea stolonifera, Canavalia rosea, Bauhinia tomentosa L, Amorphophallus campanulatus BL, dan Allium sp.
Berdasarkan tipe-tipe ekosistem hutan seperti yang telah diuraikan
tersebut, tipe hutan hujan tropis di Indonesia merupakan tipe hutan
yang paling luas diprakirakan mencapai 89% dari luas hutan Indonesia.
Tipe ekosistem hutan hujan tropis juga merupakan salah satu kekayaan
sumber daya alam dunia yang diprakirakan memiliki luas seluruhnya 900
juta hektar. Di samping itu, hutan hujan tropis merupakan hutan tropis
yang paling produktif dan paling tinggi nilainya dari segi volume
kayu yang ada maupun dari nilai flora dan fauna yang beranekaragam.
Bahkan menurut hasil penelitian FAO diprakirakan 50% dari semua
spesies flora dan fauna dunia hidup secara alamiah di hutan hujan
tropis, sehingga nilai ekosistem hutan hujan tropis jauh lebih besar
dari sekadar suatu plasma nutfah terbesar dunia yang sangat berguna
bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bagi kehidupan
manusia, dan bagi kesejahteraan manusia saat ini dan masa yang akan
datang.
.: Ekosistem Hutan Rawa :.
Ciri dari tipe ekosistem Hutan Rawa adalah hutan yang tumbuh pada daerah-daerah yang selalu tergenang air tawar, tidak dipengaruhi iklim. Pada umumnya terletak dibelakang hutan payau dengan jenis tanah aluvial dan aerasinya buruk. Tegakan hutan selalu hijau dengan pohon-pohon yang tinggi bisa mencapai 40 m dan terdiri atas banyak lapisan tajuk.
Tipe ekosistem hutan rawa terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia, misalnya di Sumatra bagian Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku dan Irian Jaya bagian Selatan.
Vegetasi yang menyusun ekosistem hutan rawa termasuk kategori vegetasi yang selalu hijau, di antaranya adalah berupa pohon-pohon dengan tinggi mencapai 40 meter dan mempunyai beberapa lapisan tajuk. Oleh karena hutan rawa ini mempunyai beberapa lapisan tajuk (beberapa stratum), maka bentuknya hampir menyerupai ekosistem hutan hujan tropis. Spesies-spesies pohon yang banyak terdapat dalam ekosistem hutan rawa antara lain Eucalyptus degulpta, Palaquium leiocarpum, Shorea uliginosa, Campnosperma macrophylla, Gareinia spp., Eugenia spp., Canarium spp., Koompassia spp., Calophyllum spp., Xylopia spp.. Pada umumnya spesies-spesies tumbuhan yang ada di dalam ekosistem hutan rawa cendenmg berkelompok membentuk komunitas tumbuhan yang miskin spesies. Dengan kata lain, penyebaran spesies tumbuhan yang ada di ekosistem hutan rawa itu tidak merata.
Eucalyptus degulpta tumbuh pada hutan rawa di MALUKU
Ada beberapa daerah berawa yang hanya ditumbuhi rumput, ada pula yang hanya didominasi oleh pandan dan palem. Meskipun demikian ada juga yang menyerupai hutan hujan tropis dataran rendah dengan pohon-pohon berakar tunjang, berbagai spesies palem, dan terdapat spesies-spesies tumbuhan epifit, tetapi kekayaan jenis dan kepadatannya tentu lebih rendah dibandingkan dengan ekosistem hutan hujan tropis.
.: Ekosistem Hutan Payau atau Hutan Mangrove :.
Ekosistem hutan payau atau ekosistem hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Menurut FAO, Hutan Mangrove adalah Komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Kondisi habitat tanah berlumpur, berpasir, atau lumpur berpasir. Ekosistem tersebut merupakan ekosistem yang khas untuk daerah tropis dan sub tropis, terdapat di derah pantai yang berlumpur dan airnya tenang (gelombang laut tidak besar). Ekosistern hutan itu disebut ekosistem hutan payau karena terdapat di daerah payau (estuarin), yaitu daerah perairan dengan kadar garam/salinitas antara 0,5 °/oo dan 30°/oo disebut juga ekosistem hutan pasang surut karena terdapat di daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis ”Mangue” dan bahasa Inggris ”grove” (Macnae, 1968 dalam Kusmana et al, 2003). Dalam bahasa inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut maupun untuk individu-individu jenis tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut.
Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen dan hutan payau (bahasa Indonesia). Selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Penggunaan istilah hutan bakau untuk hutan mangrove sebenarnya kurang tepat dan rancu, karena bakau hanyalah nama lokal dari marga Rhizophora, sementara hutan mangrove disusun dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainnya. Oleh karena itu, penyebutan hutan mangrove dengan hutan bakau sebaiknya dihindari (Kusmana et al, 2003).
Mangrove tersebar di seluruh lautan tropik dan subtropik, tumbuh hanya pada pantai yang terlindung dari gerakan gelombang; bila keadaan pantai sebaliknya, benih tidak mampu tumbuh dengan sempurna dan menjatuhkan akarnya. Pantai-pantai ini tepat di sepanjang sisi pulau-pulau yang terlindung dari angin, atau serangkaian pulau atau pada pulau massa daratan di belakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung (Nybakken, 1998).
Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Umumnya mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob. Mangrove tersebar di seluruh lautan tropik dan subtropik, tumbuh hanya pada pantai yang terlindung dari gerakan gelombang; bila keadaan pantai sebaliknya, benih tidak mampu tumbuh dengan sempurna dan menancapkan akarnya.
Ekosistem hutan payau termasuk tipe ekosistem hutan yang tidak terpengaruh oleh iklim, tetapi faktor lingkungan yang sangat dominan dalam pembentukan ekosistem itu adalah faktor edafis. Salah satu faktor lingkungan lainnya yang sangat menentukan perkembangan hutan payau adalah salinitas atau kadar garam (Kusmana, 1997).
Vegetasi yang terdapat dalam ekosistem hutan payau didominasi oleh tumbuh-tumbuhan yang mempunyai akar napas atau pneumatofora (Ewusie, 1990). Di samping itu, spesies tumbuhan yang hidup dalam ekosistem hutan payau adalah spesies tumbuhan yang memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap salinitas payau dan harus hidup pada kondisi lingkungan yang demikian, sehingga spesies tumbuhannya disebut tumbuhan halophytes obligat. Tumbuh-tumbuhan itu pada umumnya merupakan spesies pohon yang dapat mencapai ketinggian 50 m dan hanya membentuk satu stratum tajuk, sehingga umumnya dikatakan bahwa pada hutan payau tidak ada stratifikasi tajuk secara lengkap seperti pada tipe-tipe ekosistem hutan lainnya. tumbuh-tumbuhan yang ada atau dijumpai pada ekosistem hutan payau terdiri atas 12 genus tumbuhan berbunga antara lain genus Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aeigiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Gonocarpus.
Ekosistem hutan payau di Indonesia memiliki keanekaragaman spesies tumbuhan yang tinggi dengan jumlah spesies tercatat sebanyak lebih kurang 202 spesies yang terdiri atas 89 spesies pohon, 5 spesies palem, 19 spesies liana, 44 spesies epifit, dan satu spesies sikas (Bengen, 1999). Spesies-spesies pohon utama di daerah payau pada umumnya membentuk tegakan murni dan merupakan ciri khas komunitas tumbuhannya. Spesies-spesies pohon utama itu antara lain Avicennia spp., Sonneratia spp., Rhizophora spp., dan Bruguiera spp. Spesies-spesies pohon yang dapat menjadi pionir menuju ke arah laut adalah Avicennia spp., Sonneratia spp., dan Rhizophora spp., tetapi bergantung kepada kedalaman pantai dan ombaknya.
Adapun spesies-spesies tumbuhan payau tersebut dapat digolongkan ke dalam sejumlah jalur tertentu sesuai dengan tingkat toleransinya terhadap kadar garam dan fluktuasi permukaan air laut di pantai, dan jalur seperti itu disebut juga zonasi vegetasi. Jalur-jalur atau zonasi vegetasi hutan payau masing-masing disebutkan secara berurutan dari yang paling dekat dengan laut ke arah darat sebagai berikut.
- Jalur pedada yang terbentuk oleh spesies tumbuhan Avicennia spp. dan Sonneratia spp.
- Jalur bakau yang terbentuk oleh spesies tumbuhan Rhizophora spp. dan kadang-kadang juga dijumpai Bruguiera spp., Ceriops spp., dan Xylocarpus spp.
- Jalur tancang yang terbentuk oleh spesies tumbuhan Bruguiera spp. dan kadang-kadang juga dijumpai Xylocarpus spp., Kandelia spp., dan Aegiceras spp.
- Jalur transisi antara hutan payau dengan hutan dataran rendah yang umumnya adalah hutan nipah dengan spesies Nypa fruticans.

Gambar 1. Ekosistem Hutan Mangrove Seram Utara, Maluku ( Irwanto, 2008)
Ekosistem hutan payau tersebut memiliki fungsi yang sangat kompleks,
antara lain sebagai peredam gelombang laut dan angin badai, pelindung
pantai dari proses abrasi dan erosi, penahan lumpur dan penjerat
sedimen, penghasil detritus, sebagai tempat berlindung dan mencari
makan, serta tempat berpijah berbagai spesies biota perairan payau,
sebagai tempat rekreasi, dan penghasil kayu. Di samping itu, ekosistem
hutan payau juga sebagai tempat/habitat berbagai satwa liar, terutama
spesies burung/aves dan mamalia, sehingga kelestarian hutan payau akan
berperan dalam melestarikan berbagai satwa liar tersebut.Dari segi peran ekosistem hutan payau terhadap pelestarian lingkungan di sekitarnya terbukti sangat besar, lahan tambak di daerah pantai ternyata dapat dimanfaatkan secara optimal untuk usaha perikanan tambak. Hal tersebut dapat terjadi karena kekuatan air pasang dapat dikendalikan oleh keberadaan ekosistem hutan payau, sehingga lahan-lahan di daerah pantai dapat dimanfaatkan secara baik untuk tambak. Tambak di daerah pantai yang kondisi ekosistem hutan payaunya baik akan menjadi subur karena pengaruh kualitas perairan payau yang kaya sumber nutrisi dari detritus yang berasal dari ekosistem hutan payau, hal itu tentu akan meningkatkan produktivitas tambak itu sendiri.
Ekosistem .:: HUTAN GAMBUT ::.

Hutan gambut adalah hutan yang tumbuh di atas kawasan yang digenangi
air dalam keadaan asam dengan pH 3,5 - 4,0. Hal itu tentunya
menjadikan tanah sangat miskin hara. Menurut Indriyanto (2005), hutan
gambut didefinisikan sebagai hutan yang terdapat pada daerah bergambut
ialah daerah yang digenangi air tawar dalam keadaan asam dan di
dalamnya terdapat penumpukan bahan bahan tanaman yang telah mati.
Ekosistem hutan gambut merupakan suatu tipe ekosistem hutan yang cukup
unik karena tumbuh di atas tumpukan bahan organik yang melimpah.
Daerah gambut pada umumnya mengalami genangan air tawar secara periodik
dan lahannya memiliki topografi bergelombang kecil sehingga
menciptakan bagian-bagian cekungan tergenang air tawar.
Arief (1994) mengemukakan bahwa gambut itu terjadi pada hutan-hutan
yang pohonnya tumbang dan tenggelam dalam lumpur yang hanya mengandung
sedikit oksigen, sehingga jasad renik tanah sebagai pelaku pembusukan
tidak mampu melakukan tugasnya secara baik. Akhirnya bahon-bahan
organik dari pepohonan yang telah mati dan tumbang tertumpuk dan lambat
laun berubah menjadi gambut yang tebalnya bisa mencapai 20 m.
Menurut Irwan (1992), gambut adalah suatu tipe tanah yang terbentuk
dari sisa-sisa tumbuhan (akar, batang, cabang, ranting, daun, dan
lainnya) dan mempunyai kandungan bahan organik yang sangat tinggi.
Permukaan gambut tampak seperti kerak yang berserabut, kemudian bagian
dalam yang lembap berisi tumpukan sisa-sisa tumbuhan, baik itu
potongan-potongan kayu besar maupun sisa-sisa tumbuhan lainnya. Anwar dkk. (1984
dalam Irwan, 1992) mengemukakan bahwa gambut dapat diklasifikasikan
ke dalam dua bentuk, yaitu gambut ombrogen dan gambut topogen.
1. Gambut ombrogen
Bentuk gambut ini umum dijumpai dan banyak ditemukan di daerah dekat
pantai dengan kedalaman gambut mencapai 20 m. Air gambut itu sangat
asam dan sangat miskin hara (oligotrofik) terutama kalsium karena tidak
ada zat hara yang masuk dari sumber lain, sehingga tumbuhan yang
hidup pada tanah gambut ombrogen menggunakan zat hara dari gambut dan
dari air hujan.
2. Gambut topogen
Bentuk gambut seperti ini tidak sering dijumpai, biasanya terbentuk
pada lekukan-lekukan tanah di pantai-pantai (di balik bukit pasir) dan
di daerah pedalaman yang drainasenya terhambat. Air gambut ini
bersifat agak asam dan mengandung zat hara agak banyak (mesotrofik).
Tumbuhan-tumbuhan yang hidup pada tanah gambut topogen masih
mendapatkan zat hara dari tanah mineral, air sungai, sisa-sisa
tumbuhan, dan air hujan.
Tipe ekosistem hutan gambut ini berada pada daerah yang mempunyai tipe
iklim A dan B (tipe iklim menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson),
pada tanah organosol yang memiliki lapisan gambut setebal lebih dari
50 cm (Santoso,1996; Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976). Hutan
gambut itu pada umumnya terletak di antara hutan rawa dan hutan hujan.
Vegetasi yang menyusun ekosistem hutan gambut merupakan spesies-spesies tumbuhan yang selalu hijau (evergreen). Spesies-spesies pohon yang banyak dijumpai di dalam ekosistem hutan gambut antara lain Alstonia
spp., Dyera spp., Durio carinatus, Palaquium spp., Tristania spp.,
Eugenia spp., Cratoxylon arborescens, Tetramerista glabra,
Dactyloeladus stenostachys, Diospyros spp., dan Myristica spp. Khusus di Kalimantan dan Sumatra Selatan, pada ekosistem hutan gambut banyak dijumpai Gonystylus spp.
EKOSISTEM HUTAN TANAMAN
Menurut Marsono (2000), pada
prinsipnya hutan tanaman secara ekologis adalah bentuk simplifikasi
sistem alam dengan tuntutan ekonomis sebagai pengendali utama.
Pengembangan lebih lanjut terhadap motivasi ekonomi tersebut dilakukan
dengan simplifikasi berbagai komponen sistem antara lain jenis (jenis
yang bergenetis baik), bentuk dan struktur (stratifikasi tajuk dan
atau perakaran), input energi (biaya) dan penggantian natural
stabilizing factor (homeostasis ekosistem) dengan chemical stabilizing
factor (pupuk, pestisida dan lain-lain).
Keseluruhan manipulasi ini dikemas dalam bentuk metode dan sistem silvikultur dengan output utama produktivitas. Jika prinsip hutan tanaman masih tetap seperti ini maka pelestarian jangka panjang akan diragukan, atau pada suatu saat secar finansial akan tidak ekonomis lagi, karena harus menanggung beban atribut fungsional yang sudah tidak berjalan lagi.
Keseluruhan manipulasi ini dikemas dalam bentuk metode dan sistem silvikultur dengan output utama produktivitas. Jika prinsip hutan tanaman masih tetap seperti ini maka pelestarian jangka panjang akan diragukan, atau pada suatu saat secar finansial akan tidak ekonomis lagi, karena harus menanggung beban atribut fungsional yang sudah tidak berjalan lagi.

Ekosistem hutan tanaman yang terbentuk akibat adanya berbagai simplifikasi melahirkan hutan dengan hanya satu strata, tidak terdapatnya keseimbangan alamiah sehingga hutan rentan terhadap kerusakan dan juga serangan hama dan penyakit. Selain itu siklus hara dan siklus energi tidak berlangsung dengan baik serta membutuhkan biaya pengelolaan yang relatif besar agar menghasilkan output yang diinginkan. Hal lain yang terjadi akibat siklus hara dan siklus energi yang tidak berlangsung dengan baik adalah terjadinya penurunan kualitas tempat tumbuh.
Keberadaan ekosistem hutan tanaman khususnya dengan sistem monokultur seperti yang terlihat pada gambar di atas, di sini terlihat bahwa hutan tanaman yang terbentuk dari tegakan yang monokultur berdampak bagi terjadinya erosi jika manajemen lahan yang tidak tepat (gambar a dan b), selain itu rentan terhadap serangan hama dan penyakit (gambar c dan b). Selain dampak kerusakan langsung yang terlihat di lapangan, dampak lain yang di alami oleh hutan tanaman dengan sistem monokultur yaitu penurunan produktivitas dan penurunan bonita. Bahkan di beberapa tempat terjadi kebocoran fosfat dan neraca hara bahkan terjadinya penurunan kuantitas air.
Simplifikasi yang terjadi pada hutan tanaman menyebabkan integritas ekosistem tidak dapat dipertahankan lagi, kaidah ekosistem hutan menjadi hilang, terfragmentasi, sehingga memacu parahnya water yield dan kualitas air, sempitnya ruang gerak satwa, tererosinya sumberdaya genetik dan penurunan produktivitas hutan dalam jangka panjang (Soekotjo, 1999 dalam Marsono, 2000a). Menurut Marsono (2000a), terfragmentasinya ekosistem akan berakibat menurunnya produktivitas jangka panjang dan terjadi eutrofikasi/ pendangkalan jika lahan di bawahnya terdapat waduk atau badan sungai.
Selanjutnya menurut Marsono (2000a), dengan penekanan hutan produksi yang berfungsi ekonomis yang setinggi-tingginya maka telah terjadi bahwa hutan tanaman dianggap kurang atau tidak memperhatikan aspek konservasi, sehingga muncul isu penting sebagai berikut :
- Simplifikasi ekosistem hutan secara berlebihan sehingga struktur hutan yang terbentuk selalu monokultur. Struktur hutan ini memutuskan sama sekali kaidah ekosistem hutan sehingga atribut fungsional ekosistem tidak operasional.
- Stabilitas hutan menjadi rendah (natural stabilizing factor tidak berfungsi, sehingga cenderung mengganti menjadi chemical stabilizing factor yang biayanya mahal dan tidak ramah lingkungan).
- Kemunduran site quality/bonita/tapak hutan. Banyak lahan hutan tanaman yang mengalami kemunduran hutan tanaman yang ditandai dengan penurunan produktivitas atau kejemuan jenis tertentu sehingga harus diganti dengan jenis tanaman yang lain.
- Faktor hidroorologi belum/tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Hal ini dapat dilihat pada besarnya frekuensi banjir hampir setiap sungai yang ada pada setiap musim penghujan. Akan tetapi sebaliknya pada musim kemarau banyak sungai yang debitnya sangat kecil dan bahkan kering tidak berair. Kondisi ini akan semakin memprihatinkan jika kualitas air juga menjadi parameter faktor ini. Dengan keruhnya air sungai, ini telah menjadi fenomena umum disetiap hutan tanaman.









Tidak ada komentar:
Posting Komentar